Kamis, 07 Desember 2017

Mozaik Cinta (IX)

9

Hanan terus tertawa sepanjang pagi ini. Sebabnya apalagi kalau ajakan Sami saat shubuh tadi untuk mengunjungi Ibu hari ini. Hanan langsung ceria, seolah ia akan menemui ibunya sendiri, bukan ibu mertuanya. Keceriaan Hanan berimbas pada Sami. Ya, Sami juga ikut tersenyum melihat keceriaan Hanan. Hanan bahkan bernyanyi-nyanyi kecil, dan bernyanyi keras saat dikamar mandi.
Suara Hanan merdu juga, Sami menikmatinya. Diam-diam, Sami juga ikut menyanyikan ‘Terimakasih Cinta’-nya Afgan mengikuti suara Hanan. Tapi ditengah kalimatnya, Sami tercenung tiba-tiba. Kaget dengan dirinya sendiri. Aku menyanyi? Yang benar saja, aku bernyanyi! Hei! Sejak kapan aku bisa bernyanyi? Pasti Hanan yang menyebabkannya berbunga seperti ini! Sami tertawa. Awalnya pelan, tapi makin lama makin keras.
Hanan yang baru keluar dari kamar mandi heran melihat tawa Sami. Sami yang melihat keheranan Hanan bukannya berhenti, tapi tawanya bertambah keras. Baru setelah perutnya terasa sakit, Sami terpaksa menghentikan tawanya. Ia beristighfar berkali-kali.
“Kenapa?”
“Ini semua karena kau,” kata Sami bersama sisa-sisa tawanya.
“Aku?” Hanan melihat dirinya sendiri. “Apa aku terlihat seperti badut?” tapi tak ada yang aneh dengan dirinya, meski ia hanya menggunakan mantel mandi dengan handuk seperti rumah siput dikepalanya. Tapi memang itu kostum mandi, kan? Apanya yang aneh?
“Bukan tentu saja,” Sami mendekat.
“Lalu?”
“Terimakasih,” kata Sami tepat dihadapan Hanan. “Terimakasih,” ulangnya, kali ini disertai pelukan hangat. “Terimakasih, cinta.”
“Apa?”
“Kau bisa nyanyikan lagi lagu itu?”
Hanan mendengus pelan. Ternyata hanya lagu!

*   *   *

Hanan meloncat turun dari mobil. Sami khawatir Hanan terjatuh. Benar-benar gadis kecil! Sami menggelengkan kepalanya pelan.
Setengah berlari Hanan menuju pintu depan dan membukanya sembari mengucapkan salam dengan keras.
“IBU?” Hanan masuk langsung kedalam ruangan tengah. Tempat duduk seluruh keluarga.
“Tak perlu keras-keras!” Sami memukul kepala Hanan pelan. “Temukan dulu Ibu, baru kau menyapanya,” Sami sedikit membungkukan badannya, menyamakan tinggi mulutnya dengan telinga Hanan.
“Kau juga tak perlu berbisik begitu, seperti mengatakan hal yang rahasia saja,” Hanan mencibir.
“Sudah kuduga kau akan datang, Hanan!” Ibu keluar dari kamarnya  sembari merentangkan tangannya. Serta merta, Hanan menghambur kepelukan Ibunya. “Dan kau, Sami, jangan melarangnya bereriak, biarkan saja. Cuma Hanan yang bisa membuat rumah ini terasa ramai!”
“Bagaimana Ibu tahu aku akan datang?” Hanan dan Ibu berjalan beriringan dan duduk diatas sofa.
“Benar-benar kejam,” Sami berkata lirih.
“Apanya yang kejam?” Ibu menoleh pada Sami.
“Ibu melakukan tiga kekejaman padaku,” Sami ikut duduk.
“Tiga?” tanya Hanan.
“Kekejaman?” Ibu melanjutkan pertanyaan Hanan.
“Pertama, Ibu hanya punya firasat tentang kedatanganmu, Hanan. Bukan aku.”
“Oh, ya Tuhan,” Ibu mendesah.
“Kedua, Ibu hanya memeluk dan menyambut Hanan. Tidak aku. Tiga, Ibu menyapaku dengan teguran untuk membela Hanan. Sekarang aku bertanya pada diriku, yang menantu itu siapa?”
“Sami, jangan katakan padaku, kau iri pada Hanan. Dia istrimu.”
“Oh, biarkan saja dia bicara, Ibu. Sekarang katakan padaku, bagaimana Ibu tahu aku akan datang? Apa ada kupu-kupu indah yang hinggap dirumah ini tadi padi?” Hanan melebarkan matanya cerah.
Tapi sebelum Ibu menjawab, tawa Sami terdengar tiba-tiba. Membuat Ibu dan Hanan menoleh.
“Siapa itu yang tertawa?” Ayah masuk dari ruangan belakang.
“Ah, Ayah, maaf tawaku terlalu keras. Bagaimana kabar Ayah?” Sami berdiri dan mencium tangan Ayah.
“Ayah baik-baik saja. Apalagi setelah mendengar tawamu barusan,” Ayah tersenyum. “Ayah baru tahu ternyata kau bisa tertawa sekeras itu.”
“Kalian baru tahu?” Hanan melihat Ayah dan Ibu bergantian. “Kau benar-benar jaim, ya?” Hanan meninju bahu Sami. “Asal Ibu dan Ayah tahu saja, Sami tertawa seperti itu sejak aku mengenalnya.”
“Oya? Sami sering tertawa seperti itu?” sekarang Ibu yang heran. Sami belum pernah tertawa seperti itu seingatnya.
“Sering sekali. Bahkan kadang-kadang, dia tidak memberitahuku kenapa dia tertawa. Sami ingin menghabiskan tawanya sendirian!”
“Bukan begitu,” Sami berpindah duduk, kali ini duduk ditangan sofa agar bisa dekat dengan Hanan. “Itu karena aku menertawakanmu,” Sami mengacak kepala Hanan. “Kalian tahu? Hanan selalu mengatakan hal-hal yang aneh! Barusan juga, Hanan bilang tentang kupu-kupu indah yang memberitahukan kedatangannya. Benar-benar deh!”
Ibu dan Ayah saling pandang. Sami tertawa hanya karena itu? Mereka kemudian tersenyum bahagia. Sami sudah berubah banyak. Terutama kali ini. Setelah ini, pasti akan ada kejutan-kejutan lainnya sepanjang hari ini.
“Kenapa?” Sami melihat Ayah dan Ibunya heran.
“Kau tahu mengapa kami tersenyum Sami, kau banyak berubah.”
Tentu saja Sami menyadari hal itu. Maka dia tersenyum.
“Sekarang aku yang terasing. Sebenarnya ada apa?” Hanan melihat mereka bertiga bergantian.
“Kau selalu saja ingin tahu,” Sami mengacak lagi kepala Hanan.
“Sudah kubilang, jangan bersikap seolah-olah aku ini anak kecil!” Hanan menepis tangan Sami.
“Dia sayang padamu, Hanan.” Ayah membela Sami.
“Tapi Ayah tak pernah mengacak kepala Ibu kan?”
Sekarang Ayah dan Ibu yang tertawa.
“Lihat kan? Kau selalu membuat orang tertawa,” Sami berbisik ditelinga Hanan.
“Aku bukan badut!” Hanan cemberut.
“Kalau kau cemberut, kau semakin terlihat seperti badut!”
“Sami!” Hanan hendak memukul Sami, tapi Sami keburu mendekapnya dari belakang. Ayah dan Ibu terlihat begitu lega. Sami berubah. 
“Ramai sekali....” Sarah tiba-tiba datang dari pintu depan, tangannya menuntun putra kecilnya, dan dibelakang A’ Ilham mengikutinya. “Sudah kuduga, pasti ada Hanan!”
Hanan tersenyum dan menyambut Sarah. “Bagaimana kabarmu, Kak?” Hanan memeluk Sarah. “Lalu bagaimana kabar si tampan ini?” Hanan membungkukkan badannya meratakan matanya dengan putra Sarah. Lalu menggendongnya sayang. “Sepertinya ngantuk ya?” Rafli, putra Sarah itu menggosok matanya dengan punggung tangannya.
“Tadi dia bangun pagi sekali. Pastinya dia ngantuk sekarang,” kata Ilham sembari berkeliling mencium tangan dan bertukar salam dengan Sami.
“Mana Huda?” Sarah menengok keatas.
“Iya, aku juga belum bertemu,” kata Hanan.
“Kalian juga baru datang?”
“Begitulah,” Sami yang menjawab. Ia mendekat kearah Hanan dan tersenyum pada Rafli. “Kau tambah besar ya?”
“Dia tampan ya? Mirip Kak Sarah!” Hanan meminta persetujuan Sami. Sementara Rafli menyandarkan kepalanya didada Hanan. Dia memang mengantuk.
“Oya?” Sami melihat wajah Hanan. “Tampan mana dengan aku?”
Semua terdiam. Terpana dengan kata-kata Sami. Sami mengatakan itu? Apa itu Sami? Mulut Sarah sampai menganga sembari melihat Ibu, Ayah dan suaminya bergantian. Kalian dengar itu?
“Memangnya, kau mau dibandingkan dengan anak kecil?” Hanan tertawa.
“Tapi aku belum pernah dengar kau memuji wajahku,” Sami berkata serius.
Hanan menyadari sesuatu yang aneh dari keluarga mereka. “Kau membuatku malu!” Hanan berbisik.
“Katakan dulu.”
“Kau tampan. Puas?” Hanan mengerucutkan bibirnya. “Aku tidurkan Rafli dulu ya?” Hanan berpamitan pada semua. Sami benar-benar membuatnya malu...
“Aku paling suka kalau lihat Hanan malu seperti itu. Dia terlihat lebih cantik. Pipinya jadi merah, seolah-olah segumpal darah berkumpul disana,” Sami berkacak pinggang memandang kepergian Hanan kemudian menoleh pada keluarganya. Melihat mereka syok sembari memandangnya, Sami sadar, dia melakukan hal aneh. Sekarang Sami yang malu. “Eh, aku ... akan menyusul Hanan.” Lalu tanpa menunggu apapun lagi, Sami benar-benar menyusul Hanan kekamar atas.
“Kalian dengar itu?” itu suara Sarah. “Hanan benar-benar hebat!”
Suara obrolan yang masih sampai ditelinga Sami membuatnya berjalan lebih cepat. Wiuh! Hanan memang membuatnya banyak berubah! Aku tak pernah malu seperti ini sebelumnya! Awas saja, gadis itu pasti akan mendapatkan balasannya!
Sami tersenyum riang.

*   *   *

Hanan dan Sami meninggalkan Rafli dengan gerakan lambat. Khawatir suara gerakan sekecil apapun, akan membangunkan anak itu. Hanan meninggalkan pintunya terbuka, jadi jika Rafli menangis, mereka bisa langsung tahu.
Sami menarik Hanan berjalan ke balkon.
“Aku sangat suka melihat langit dari sini,” Sami berdiri di balkon, tangannya berpegangan pada pagar balkon.
“Ya. Langit adalah pemandangan paling indah. Benar kan?”
Sami membenarkan. Dengan awan yang tebal bergulung, atau awan menyemai tipis, atau bahkan mendung dengan halilintar, langit tetap hal terindah yang enak dilihat. Dan langit yang mereka lihat sekarang sedikit kelabu. Sepertinya akan hujan beberapa saat lagi.  Beberapa saat, mereka asyik dengan pikiran mereka masing-masing.
Sami memandang Hanan dari samping. Bibir Sami menggariskan senyuman, seolah-olah, Hanan adalah orang yang paling dikaguminya. Dimata Sami sekarang, keindahan langit telah tersaingi, hanya oleh wajah Hanan tentu saja. Keindahan yang tak pernah bosan untuk diperhatikan.
“Kau pasti mendapatkan mata itu dari ayahmu, benar?” tanya Sami tiba-tiba. Itu maksudnya, Sami menyukai mata Hanan.
“Sepertinya,” jawab Hanan ringan.
“Sepertinya?”
“Aku belum pernah lihat wajah ayah, sih!” Hanan meringis tersenyum. Sami terhenyak. Belum pernah lihat wajah ayah? Dan Hanan mengatakan itu seperti mengatakan, ‘aku belum ketemu ayah seminggu, sih!’ Ringan banget.
“Kau tak ingin melihatnya?”
Sami berhasil menyentuh hati Hanan yang paling dalam. Sisi paling sensitif dalam jiwanya. Hal yang paling peka, disentuh oleh Sami, seseorang, yang entah sejak kapan,menjadi seseorang yang berarti bagi dirinya. Tenggorokan Hanan menjadi tercekat. Jika orang lain yang bertanya, reaksinya tak akan seperti ini.
“Dia... adalah ambisiku,” kata Hanan pelan. Menahan gumpalan-gumpalan emosi yang berdesakan minta dikeluarkan.
 Sami melihat kesenduan diwajah Hanan. Seketika, ia menjadi mengerti.
“Aku tahu,” Sami mengulurkan tangannya dan mendekap Hanan.
“Hidup bersamanya adalah impianku yang paling besar. Kebahagiaanku...,” Hanan tak sanggup bicara lagi. Ia terdiam menahan isak yang sudah sampai pangkal lidahnya. Maka ia terus menelan ludahnya. Memasukkan kembali desakan-desakan isak yang terus berjejal.
“Kau ingat siang itu? Saat kau menangis lama didadaku?” Sami menelungkupkan wajah Hanan dipundaknya. “Kau bisa melakukannya lagi jika kau mau.”
Hanan diam. Seolah mengerti dengan kata-kata Sami, isak itu semakin mendesak keluar, dan pertahanan Hanan roboh sudah. Ia menangis keras.
“Aku ingin bertemu dia Sami...”
Sami mencium kepala Hanan.
“Kenapa dia meninggalkanku? Apa dia tak tahu kalau aku ini ada?”
Sami mengeratkan pelukannya, seolah ingin menyelubungi Hanan sepenuhnya. Menyelimutinya agar Hanan merasa hangat. Melindunginya, agar siapapun tak berani mengusik Hanan. Sami memejamkan mata. Hanya dia yang akan menjadi tempat menangis bagi Hanan. Hanan akan aman bersamanya, akan bahagia bersamanya.
“Apa salahku padanya sampai dia tak mengijinkan aku melihatnya! Apa salahku?” Hanan terus bicara sambil menangis. Tangis perih. Seperti tangis seorang anak yang mainan satu-satunya direbut orang lain.
“Kenapa dia meninggalkanku...”
Sami mencium kepala Hanan. Kali ini berkali-kali, bertubi-tubi. Aku disini Hanan...
Sebuah tangan mengusap airmata. Bukan tangan Sami, juga bukan air mata Hanan. Tapi tangan seseorang yang mengurai airmata hanya beberapa jarak dari mereka.
Sami dan Hanan berdiri dibalkon tepat didepan sebuah jendela. Jendela yang menghubungkan balkon itu dengan ruangan luas penuh buku. Ruang baca. Tanpa Sami dan Hanan ketahui, sejak tadi, Huda memperhatikan mereka dari dalam.
Huda melihat pandangan Sami pada Hanan, juga perhatian Sami yang begitu besar pada Hanan. Meskipun mereka sangat dekat, sekalipun, Sami tak pernah memandangnya seperti itu. Juga tak pernah merengkuhnya seperti tadi. Sami tak pernah mendengar keluhannya sedetik pun, karena jika mereka bertemu, Sami-lah yang banyak mengeluh padanya, dan Huda menenangkannya.
Huda mengusap airmatanya sekali lagi. Bukan untuk kesedihan Hanan, tapi untuk keperihan hatinya karena Sami.
Huda berbalik, tak tahan untuk melihat lagi, ia berlari menuju kamarnya. Hanya dikamarnya sendiri, ia bisa menangis sesuka hatinya.
“Sudah selesai? Sudah lega sekarang.” Sami mengurai pelukannya dan sedikit merendahkan kepalanya untuk melihat wajah Hanan. Wajah yang penuh airmata. Sami meraba saku celananya, mencari sapu tangan. Tapi, memang kapan Sami punya saputangan? Tapi mengusap airmata seorang wanita biasanya menggunakan saputangan kan? Gimana dong, Sami kan tak punya?
Entah mendapat ide darimana, Sami menarik ujung kaosnya untuk mengusap airmata Hanan. Hanan jelas kaget, hingga ia tertawa. Sami melihatnya heran. Baru saja menangis, sekarang sudah tertawa?
“Maaf,” Hanan menghentikan tawanya. “Kau aneh!” Hanan menjauhkan kaos Sami dari pipinya. Sami mengerti dan tersenyum.
“Habis, tak punya saputangan, tapi tak apa, bisa membuatmu tertawa lagi kan?” Sami tersenyum dan mengangkat kedua alisnya yang panjang hingga melengkung keatas. “Hm?” Sami meminta persetujuan Hanan.
“Terimakasih, Sami.” Hanan mengecup bibir Sami cepat. Mata Sami membeliak.
“Itu tanda terimakasihnya? Benar-benar tak setimpal.”
“Suatu saat kalau kau butuh tempat untuk bersandar, aku punya ini yang siap kapanpun kau mau,” Hanan menepuk pundaknya.
“Sungguh?”
Hanan mengangguk kuat.
“Akan kucatat itu.”
“Aku janji.” Hanan mengacungkan jari kelingkingnya. Sami memandangnya sesaat.
“Janji juga, kau hanya akan menangis padaku?”
“Janji.” Lalu kedua kelingking mereka bertaut, dan mereka tertawa bersama.

*   *   *

“Sayang sekali, keramaian ini akan hilang dalam sekejap,” Ibu mendesah.
Mereka berkumpul dan mengobrol banyak setelah mereka selesai makan malam. Makan malam yang ramai dan menyenangkan. Jarang sekali mereka berkumpul seperti ini.
Sarah sedang mempersiapkan tas bayinya. Memeriksa isinya, meyakinkan tak ada yang terlewat. “Minggu depan kami kesini lagi, Bu.”
“Haah..., rasanya seminggu itu lama sekali...”
“Jangan seperti anak kecil,” Ayah tertawa. “Ada Huda yang menemani kita. Tak akan terlalu sepi.”
“Saya minta maaf, Bu. Kalau saja kami bisa menginap, kami pasti menginap. Tapi bukan malam ini,” Ilham memakai sepatunya.
“Sini, Rafli. Sama Mama,” kedua tangan Sarah terulur pada Hanan, meminta Rafli yang tengah tertawa-tawa bersama Hanan. Hanan enggan memberikannya.
“Hanan, berikan Rafli,” Sami menyentuh Hanan.
“Ah,” Hanan masih enggan, tapi tak urung ia menyerahkan juga Rafli. “Kapan kau pinjamkan Rafli padaku? Sehariiii... saja.”
“Seperti Rafli barang saja,” Sami tertawa.
“Kau buat sendiri lah, jangan pinjam punyaku,” Sarah tersenyum dan menggendong Rafli.
Hanan terdiam cemberut. “Emang segitu mudahnya bikin anak? Kayak bikin kue aja!”
“Mudah kok!” Sami berbisik. Bisikan yang cukup terdengar semua orang dan mengundang tawa. Kecuali Huda.
“Jangan dulu bawa Hanan pulang ya, Sami. Sebentar saja lagi,” Ibu berkata pada Sami setelah Sarah dan Ilham tak lagi bersama mereka.
“Pulang?” Sami mengerutkan keningnya. “Sepertinya Hanan mau nginep disini. Iya kan, Hanan?”
Mata Hanan melebar. “Boleh?”
“Tentu saja!” Sami mengambil sepotong brownis dan memasukannya kemulut dalam sekali suapan.
Bukan hanya Hanan yang kaget, tapi Ibu, Ayah, juga Huda.
Sejak mereka berdua menikah, mereka tak pernah menginap jika berkunjung. Tak pernah sekalipun. Tapi sekarang? Apa tak salah?
Sami mengambil remote dan memindahkan chanel tivi. Tak menyadari bagaimana syok-nya orang yang mendengar perkataan Sami. Ya, sebenarnya Sami menyadari juga kekagetan mereka. Tapi biarkan saja, toh Sami tak bisa mengutarakan alasannya. Ia tak mungkin bilang, kalau dulu ia tak mungkin menginap disini, karena mereka belum tidur bersama. Dan sekarang mereka bisa menginap disini karena sudah tak ada yang disembunyikan. Mereka telah berdamai. Dan, ya, tidur bersama. Jadi menginap pun tak masalah kan?
Setelah kekagetan mereka hilang, mereka larut dalam obrolan dan tawa bahagia. Hanan menginap disini! Itu adalah pengalaman pertama! Jelas itu mengundang kebahagiaan tersendiri bagi Ibu dan Hanan.
“Semalam ini, aku akan punya gadis kecilku lagi, setelah Sarah menikah.” Ibu memeluk Hanan.
“Ah, Ibu..., kan Huda juga gadis Ibu,” Hanan tak enak pada Huda yang sedari tadi diam memandang tivi.
“Iya, Huda gadisku. Tapi Huda kan dewasa dan anggun. Tidak seperti kamu yang ramai!” Ibu tersenyum.
“Ayolah, Ibu-ibu. Kapan kalian tidur? Ini sudah larut!” Sami mengambil lagi remote dan memindahkan lagi chanel.
“Sami, jangan dipindah lagi! Kau membuatku pusing. Sebenarnya apa yang Sami tonton?”
“Tidak ada,” Sami mengangkat bahu dengan santai.
“Sudah saja yang tadi. Itu film detektif kan? Ibu ingin tahu, siapa jadinya pembunuh itu.”
“Yang ini?” Sami memindahkan kembali chanel. Lalu bertahan sebentar di film Mission Imposible-nya Tom Cruise. Tapi kemudian memindahkan lagi channel. Dan kali ini tak ada yang protes, karena Ibu dan Hanan kembali ngobrol dengan asyik.
“Huda? Kau tak ikut ngobrol?” Sami menyapa Huda untuk pertama kali sejak kedatangannya hari ini.
Huda tersentak. Dan Hanan memanjangkan telinganya. Meski ia melihat bibir Ibu yang tengah berbicara, ia sebenarnya menantikan jawaban Huda. Apa yang akan Huda katakan, dan selanjutnya, apa yang akan mereka obrolkan? Apa mereka memang akan ngobrol setelah kalimat itu? Hanan merasa was-was, dan berusaha setengah mati menyembunyikan was-wasnya dari Ibu.
Huda menoleh pada Sami. Dan dadanya tiba-tiba terasa berat melihat tangan Sami yang tersapu matanya. Sial! Tangan itu terus memainkan jemari Hanan sejak tadi. Apa Sami tak sadar dengan apa yang dilakukannya? Lagipula, ini bukan rumah mereka, seharusnya Hanan melepaskan diri dari tangan Sami. Dasar perempuan udik! Tak tahu sopan santun.
“Aku sudah ngantuk. Aku permisi duluan,” Huda berdiri dan beranjak meninggalkan mereka. Ia terlihat marah. Sami tidak terlalu memperhatikan, tapi Hanan dan Ibu memperhatikan dan lebih dari itu, mereka tahu apa sebabnya.
“Huaah... Ayah juga,” Ayah menguap dan membubarkan dirinya sendiri.
“Nah kalau Anda berdua Ibu-Ibu yang manis? Kapan Anda berdua akan mengantuk?”
“Ibu belum mengantuk.”
“Aku juga,” Hanan membeo. “Kami akan bicara sepanjang malam,” Hanan meringis tersenyum.
“Apa? Terus aku?” Sami melihat Ibu, memelas. “Kau mau cepat punya anak kan, Hanan?” sedetik setelah Sami mengatakan itu, ia mendapat cubitan keras dari Hanan.
“Ya sudah Hanan, pergilah tidur.”
“Tapi kan aku masih kangen,” Hanan merajuk.
“Lihat Sami, dia benar-benar sudah ngantuk.” Ibu menunjuk Sami dengan dagunya.
“Lagipula Hanan, Ibu harus istirahat,” Sami merasa diatas angin.
Akhirnya Hanan memang mengikuti Sami masuk kamar. Tapi sebelum benar-benar masuk, Hanan berdiri mematung memandang pintu yang tertutup didepan kamar Sami. Pintu itu kamar Huda. Sudah gelap, tak ada cahaya dibawah pintu. Tapi apakah telinga Hanan yang salah dengar, Hanan mendengar suara tangisan sayup. Hudakah? Hanan baru mau melangkah mendekat, memastikan, tapi Sami menarik tangannya dan menutup pintu.
“Saatnya tidur.”
Tapi bisakah Hanan tidur? Suara tadi memang tangisan. Huda menangis karena dirinya? Hanan mendesah. Ia juga ingat kemarahan Huda tadi. Hanan yakin, Huda marah karena Sami begitu memperhatikannya. Lagipula Sami, benarkah ia memang memperhatikan Hanan? Apakah sikap Sami hari ini, hanya untuk memperlihatkan pada Huda, bahwa Huda sudah tak boleh lagi berharap padanya. Atau memang karena Sami mulai mencintai dirinya? Jika harus dibandingkan, ia sama sekali tak memiliki kekuatan apapun untuk bisa menyaingi Huda. Dari kecantikan, kecerdasan, apalagi keanggunan. Hanan kalah telak. Apakah Sami mungkin akan berpaling dari perempuan dengan nilai sempurna kepada dirinya yang hanya bernilai lima?
Hanan melihat punggung Sami, ia tidur menghadap dinding. Tiba-tiba Hanan merasa takut kehilangan Sami. Ia cepat mendekap Sami dari belakang.
“Aku mencintaimu, Sami. Aku sangat mencitaimu,” bisik Hanan.
Sami membuka matanya. Diam. Dan ia berpura-pura telah tertidur. Hari ini banyak yang terjadi. Huda, maafkan aku...


*   *   *

Sebelumnya; Bagian 8
Berikutnya; Bagian 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar