Sabtu, 07 November 2015

Mozaik Cinta (Bagian VI)


Lampu kamar Hanan masih menyala. Bukan itu saja, pintu gesernya juga terbuka lebar, dan gordennya apalagi, masih terkumpul disatu sisi. Ia tengah menekuni sesuatu di meja kerjanya. Wajahya tertunduk, dan pensil (atau bulpoint?) yang tengah digenggamnya bergerak-gerak lincah. Rambutnya digulung keatas, beberapa lembar terjatuh dikening juga lehernya. Sami bisa melihatnya, sebab Hanan sesekali mengangkat wajah dan mengganti pensilnya. Bajunya hanya kaus pendek ketat. Tanpa baju hangat. Dengan jendela terbuka seperti itu, memangnya dia tidak dingin?

Sami bersidekap dada memperhatikan Hanan dari ruang tengah. Apa yang tengah dikerjakan Hanan? Apa pesanan design Tante Diah itu? Tapi selarut ini? Sami melihat jam dinding. 11.40. Ini bukan hampir tengah malam lagi, tapi memang tengah malam.

Sami melangkah menuju pintu, tapi ragu sejenak. Kalau lewat pintu, ia harus mengetuk dahulu, lalu menunggu Hanan menyuruhnya masuk. Itu kalau Hanan tak mengunci pintunya, tapi kalau Hanan menguncinya, ia harus menunggu Hanan membuka pintu. Terlalu mengganggu kan? Lagipula, terlalu formil bagi seorang suami memasuki kamar istrinya dengan terlebih dahulu mengetuk pintu. Tapi jika ia tak mengetuk? Ah.
Sami akhirnya memilih jalan yang lebih mudah. Ia membuka pintu kaca diruang tengah menuju taman, lalu memakai sandal dan berjalan menuju pintu kaca dikamar Hanan yang juga menghadap taman. Dua pintu kaca yang memungkinkannya melihat Hanan dari sejak ia membuka pintu kamarnya.

Demi mendengar suara langkah, Hanan mengangkat wajah dan menoleh pada Sami. “Eh, belum tidur?” tanya Hanan kaget.

“Pertanyaan itu seharusnya aku tujukan buat kamu kan?” Sami membuka sandal dan naik keteras lalu berjalan mendekati Hanan. “Baju pengantin pesanan Tante Diah itu?” Sami melihat pekerjaan Hanan, tanpa menyadari, kalau Hanan masih belum sadar dari rasa kagetnya.

Sami masuk kamarku?

“Bukannya, untuk satu design, kau biasanya menyelesaikan cepat?” pertanyaan Sami menyadarkan keterkejutan Hanan.

“Masalahnya, butikku bukan bridal, lagipula, aku tak membuat satu design saja. Biar Luna bisa memilih.

“Yah, besok ya?” Sami mengeluh, mengingatkan Hanan akan sesuatu.

“Eh, ke pantai itu bukan besok kan?” tanya Hanan ragu. Jelas sekali ditelinganya, Sami mengajaknya ke pantai besok. “Ah, Sami, maafkan aku..., aku benar-benar...”
Melihat Sami yang diam saja sembari menunduk memperhatikan gambar Hanan, Hanan mulai ketakutan. Apa Sami akan marah? Apa moodnya berubah sekarang?

“Apa aku perlu menggagalkan pertemuanku dengan Tante Diah dan Luna?”

“Kenapa?” Sami melihat Hanan. Air mukanya belum berubah.

“Karena besok kita ada rencana kan?” tanya Hanan hati-hati.

“Seharusnya kau menyadari itu ketika kau membuat janji, bukan sekarang.”

Hanan mengerut. Ia tak tahu apa yang harus diucapkannya.

“Bercanda,” Sami mengacak rambut Hanan. Membuat Hanan terpana. Sami yang egois dan warkaholic bisa mengacak rambutnya?

“Masih lama? Mau kubuatkan kopi?”

Tawaran Sami membuat Hanan mengerjap. “Tak merepotkan?”

“Bilang saja ‘iya’,” Sami mengacak rambut Hanan untuk kedua kalinya. “Sebentar ya,” Sami menjauh darinya, kini melewati pintu kamar.

Hanan terus melihat Sami dari tempat duduknya, Sami yang berjalan melewati ruang tengah, Sami yang berdiri di pantry dan membuat kopi. Saat menyendok gula, tanpa Hanan duga sama sekali, Sami melihat kearahnya, membuat Hanan tersentak dan menunduk lagi, menekuni kertasnya kembali.

Melihat Hanan yang malu karena kepergok tengah memperhatikannya, Sami tersenyum. Nah, dari jauh saja, bisa kelihatan kalau wajahnya yang malu seperti itu sangat manis. Hanan benar-benar girly, cewek banget. Kok berbeda dengan Huda ya? Gerakan tangan Sami tiba-tiba berhenti. Huda lagi? Kenapa ia memikirkan Huda? Sami menggerutu. Kapan ya wajah Huda bisa benar-benar keluar dari pikirannya?

“Minum dulu,” Sami membawa dua cangkir kopi. Kepulan asap yang membawa harum kopi di penciuman Hanan, serta merta membuatnya melepaskan pensil dan memutar kursinya menghadap Sami, dengan senyum sumringah menghias wajahnya.

“Harumnya...,” Hanan memejamkan mata dan menghirup wangi kopi yang menggugah seleranya. Karena Hanan hanya melihat pada cangkir kopi yang dibawa Sami, Hanan sama sekali tak menyadari kalau wajah Sami berubah tegang.

Sami menyimpan cangkir dimeja, agak jauh dari kertas-kertas Hanan karena khawatir kertas itu menjadi kotor. Hanan mengambil cangkir itu dan meminumnya sedikit.

“Ugh! Masih panas!” Hanan mengibas-ngibaskan tangannya didepan mulut. “Tentu saja, bodoh ya aku ini?” Hanan tertawa dan mengalihkan pandangannya pada Sami. Tapi demi dilihatnya wajah Sami yang tegang, tawa Hanan berhenti seketika.

“Kenapa?” tanya Hanan hati-hati.

“Ah, tidak,” Sami menjawab dengan senyum dibuat-buat, menutupi kepanikannya.

“Ada yang salah denganku ya?” Hanan meraba rambutnya. Tak ada sesuatu. Sami sudah terbiasa melihat rambutnya. Tangan Hanan turun kewajah dan mengusap-usapnya. Lalu matanya menunduk melihat bagian tubuhnya yang lain. “Oh, Ya Tuhan!” Hanan memekik. Kini kepanikan Sami beralih padanya. Ya, ya. Hanan baru sadar, kalau ia tengah mengenakan kaos agak ketat, dan celana pendek. Ya, celana pendek!

Hanan berdiri seketika, dan hendak berlari membuka lemarinya dan meraih apapun yang bisa menutupi pahanya. Tapi tangan Sami memegang tangan Hanan.

“Sudahlah, tak apa kan?”

“Ehm..., maaf. Tapi tadi aku gerah, jadinya...”

“Kelihatan.”

“Hah?”

“Ya, kamu buka pintu lebar gini, tengah malam pula, apalagi kalau bukan karena panas?”

“Oh.”

“Padahal udara sedang dingin begini.. Tapi langitnya cerah. Purnama pula,” Sami melihat langit dari ambang pintu kaca. “Mau rehat sebentar?” Sami menoleh pada Hanan yang masih berdiri kaku ditempat tadi Sami menahan langkahnya. “Sini duduk,” Sami memindahkan dua cangkir kopi ke bawah dan duduk diambang pintu menghadap taman. “Sini,” Sami menoleh lagi dan mengulang perintahnya.

Hanan menurut. Ia melangkah pelan dan duduk disamping Sami, agak jauh, sampai Sami tersenyum dibuatnya.

“Hei! Kau takut padaku?”

“Eh, tidak! Kenapa harus takut?” Hanan tergagap.

“Kalau begitu kenapa duduk jauh-jauh?”

Hanan senyum terpaksa. Masalahnya, ia memakai celana pendek, dan tentu saja, akan semakin menyusut kalau ia dalam keadaan duduk. Jadi ia agak menjaga jarak.

Melihat Hanan tak bergerak, akhirnya Sami yang mengambil inisiatif menggeser duduk dan mendekat ke Hanan. Sekilas, Sami melihat kaki Hanan yang putih. Kaki yang belum pernah tersentuh sinar matahari. Kaki yang perawan dari pandangan lelaki manapun. Dirinya, orang pertama yang melihat kaki itu. Dan jantung Sami berdetak tak berirama. Atau berirama, tapi iramanya kacau sekali. Menghentak tak jelas. Berdebum keras.

Beberapa saat mereka terdiam, sebelum akhirnya Sami mengulurkan tangannya. Hanan melihat wajah Sami yang tersenyum, lalu melihat tangan Sami yang terkepal kecuali bagian kelingking yang ia biarkan terjulur.

“Mau memaafkan aku?” tanya Sami pelan.  Hanan melihat wajah Sami lalu melihat kelingking lagi. Tak ada reaksi.

“Pasti dosaku sangat besar ya...,” Sami menarik tangannya lagi dengan kecewa. Ia pikir, Hanan tak akan seperti dirinya dulu. Tapi mungkin memang seperti yang ia katakan, kesalahannya yang begitu besar, sampai jauh didalam hati Hanan, kebencian pada dirinya tumbuh sempurna.

“Eh, bukan begitu,” kata Hanan tiba-tiba. Tangan kirinya, mengambil tangan kanan Sami, lalu menautkan jari kelingkingnya yang kecil, pada jari kelingking Sami. Sami memandangnya terpaku. “Ini tanda perdamaian kita,” Hanan tertawa pelan, dan matanya menyipit. Ini mimik wajah Hanan kedua yang Sami sukai. Matanya tertarik kesamping jika ia tertawa. Meski mata birunya tersembunyi, Hanan tetap manis.

Sami juga tersenyum lebar. Hanan memaafkannya.

“Meski aku sudah mengabaikanmu selama ini?”

Hanan mengangguk.

“Meski aku suka ketus padamu?”

Hanan mengangguk.

“Meski aku suka marah?”

“Juga pelit, kasar, egois....,” Hanan melanjutkan, tapi wajahnya masih sesumringah tadi. “Asalkan itu cuma masa lalu.”

Kelingking mereka masih bertaut untuk beberapa saat, mata mereka saling pandang dan senyum mereka saling bertukar.

“Terimakasih,” kata Sami.

“Aku juga mau minta maaf, Sami.”

“Untuk?”

“Jangan dikira hanya kau yang punya salah. Aku juga. Aku tak pernah menyediakan keperluanmu.”

“Itu bukan kewajiban istri kok. Kewajiban istri kan cuma..., taat pada suami,” Sami akhirnya menemukan kata yang tepat. Hampir saja, barusan ia mengatakan kalau kewajiban istri cuma melayani suami. Kata-kata yang bisa membuat Hanan tersenyum malu lagi, tapi selain itu, Sami juga akan malu setengah mati. Kelihatan sekali, kalau ia mulai menginginkan Hanan. Untung saja, ia menemukan kata yang lebih tepat, sehingga ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Meski sebenarnya, ia menyesal mengetahui dirinya masih sepengecut ini. Kalau ia mau, tak kenal rasa malu, ia bisa langsung bicara pada Hanan, Hanan pastinya tak akan menolak. Tapi...

“Jadi mulai besok..., kita... berteman?” pertanyaan Hanan membuyarkan lamunan Sami yang liar.

Sami mengangguk mantap. Tak apalah berteman dulu, ia ingin kehidupan mereka berjalan dengan alami. Tapi Sami tak tahu, kalau sebenarnya, Hanan menginginkan lebih dari sekedar pertemanan.

Memangnya, kapan sepasang teman ini bisa berubah menjadi sepasang kekasih?

Tapi, well. Bagaimanapun juga, Hanan tetap harus bersyukur. Allah sudah memperbaiki hubungan mereka, padahal sebelumnya, baik Hanan maupun Sami, mengira bahwa hubungan mereka tak akan pernah membaik, selamanya. Tapi Allah memang berkuasa memutar keadaan hanya dengan sekali sentuh, bukan? Termasuk tentang pertemanan ini. Walaupun mereka hanya mengakui sebagai teman, Allah menginginkan lebih. Buktinya, malam itu, tangan Sami terulur menggenggam tangan Hanan erat sekali.

“Mau kutemani bergadang?” tanya Sami mengejutkan Hanan. “Kuambil dulu laptopku ya?” Sami berdiri dan berjalan kekamarnya. Sementara dada Hanan masih berdebar keras. Ia pandangi tangannya yang masih hangat bekas genggaman tangan Sami.

Ia ingat kata-kata Sarah dulu, Sami egois, sulit berkomunikasi, keras kepala. Tapi Hanan melihat kenyataan lain hari ini, Sami ternyata bisa bersikap manis dan lembut. Bahkan jika selamanya mereka hanya berteman, Hanan sangat bersyukur.
Sami datang ketika Hanan masih memandangi tangannya.

“Tanganku meninggalkan kotoran disitu ya?”
Hanan mengerjap. Ia berdiri dan kembali duduk dikursinya, lalu membereskan kertasnya, menyediakan tempat untuk Sami.

“Tak apa, keras butuh alas yang keras, tapi laptop tidak. Kalau boleh, aku disini saja,” meski kesannya Sami meminta persetujuan, toh tanpa menunggu jawaban Hanan, Sami menyibak bad cover dan duduk di tempat tidur Hanan. “Cuma perasaanku atau memang kenyataannya begitu, tempat tidur ini rasanya lebih empuk dibanding tempat tidur disana?”

Hanan tersenyum. Apa telinganya tak salah dengan? Sami mengatakan tempat tidur disini, dan tempat tidur disana, bukan tempat tidurku dan tempat tidur kamu. Hah, sekarang Hanan mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan yang Sami berikan. Termasuk kejutan yang terjadi malam itu juga. Sami mendengkur diatas tempat tidurnya!

*   *   *

“Kau bukan tak tidur karena aku kan?”

Mereka sedang menyantap sarapan pagi. Seperti biasa bersiap ke kantor. O ya, acara piknik harus mereka tunda untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

“Aku tidur kok!” Hanan menyuapkan nasi kemulutnya.

“Sungguh?”

Hanan mengangguk.

“Tapi saat aku bangun subuh tadi, tempat disampingku kosong.”

“Itu karena aku bangun lebih cepat dan kau bangun kesiangan,” Hanan tertawa. Membuat mulut Sami sedikit mengerucut.

“Tapi sungguh kau tidur kan?” Sami tampak khawatir. Dan kekhawatiran Sami sedikit menghilang ketika Hanan menganggukkan kepalanya.

Sebenarnya, Hanan memang hampir tak memejamkan mata kecuali sangat sebentar. Bukan sengaja. Sungguh. Hanan hanya tak bisa tidur dengan wajah Sami tepat didepannya. Sepanjang malam, mana bisa ia tertidur tenang, sementara jantungnya berdebar keras. Jadi bukan salahnya kan?

“Dengkurmu memang keras sih,” Hanan berkata pelan hampir pada dirinya sendiri.

“Hah? Masa?” Sami menyimpan suapannya.

“Bercanda!” Hanan tertawa. “Maksudku, memang keras. Tapi tak mengganggu, malah, aku senang, serasa ada yang menemani. Ibu juga dulu mendengkur.” Hanan berdiri dan berjalan sembari membawa piringnya yang kosong. Sami belum selesai makan. “Kamu melamun apa sih? Bukan makananku yang tak enak kan?”

“Eh, bukan tentu saja. Aku cuma...,” Sami tak melanjutkan. Ia sedang memikirkan keajaiban dirinya sendiri. Apa yang terjadi denganku? Berani sekali aku tidur disana? Lagipula, kenapa ia yang tidur duluan? Seharusnya Hanan yang terlebih dulu tidur, agar ia bisa melihat wajah Hanan sepuasnya. Hah, lagi-lagi... Sami menggelengkan kepala mengusir pikirannya.

“Maaf ya,” Sami menghampiri Hanan yang sedang mencuci piringnya. Ia meletakkan piring kotor dihadapan Hanan, dan Hanan menerimanya sebelum piring itu benar-benar tersimpan.

“Untuk?” Hanan mengambil busa sabun dan menggosok piring bekas Sami.

“Karena aku tidur ditempatmu.”

“Tempatku? Tempat tidurku, tempat tidurmu juga kan?” Hanan menyelesaikan pekerjaannya. Tangan Sami mengambil lap kering dan memberikannya pada Hanan.
“Atau..., kau tak merasa begitu?” Hanan mendesah. Tangannya bergerak pelan. Beberapa saat mereka berdiri berhadapan tanpa berkata sepatah kata pun.

“Tentu saja, aku berpikir sama,” Sami mendekat lagi.
Kini mereka berdiri tak berjarak. Sami memandang wajah Hanan seksama, sementara Hanan mengalihkan pandangannya kearah lain.

“Boleh tidak, aku memelukmu Hanan?”

Hanan mendongak. “Apa?”

Sami semakin mendekat dan memang memeluk Hanan. Semakin lama semakin erat, sampai-sampai dadanya merasa sesak.

“Sami?”

“Sebentar, biarkan aku seperti ini untuk beberapa saat. Biarkan aku....”

Hanan bingung. Suara Sami berbeda dari biasanya. Lemah, tapi berat. Ada sesuatu yang Hanan tak tahu. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sami. Apa? Tanpa Hanan sadari, tangannya terangkat membalas pelukan Sami. Dagunya menempel kuat pada bahu Sami.

“Semua akan baik-baik saja...” Hanan mengusap punggung Sami.

“Semua akan baik-baik saja...”

*   *   *

Sebelumnya; Bagian 5
Berikutnya; Bagian 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar